HarianSultra.com, Kendari – Mengenang Hari Pahlawan Nasional yang jatuh setiap Tanggal 10 November, tentu membawa pikiran kepada seluruh tokoh pahlawan baik diketahui maupun tidak, dimana telah berkontribusi nyata bagi negara.
Demikian halnya Himayatuddin Muhmmad Saydi, seorang pahlawan nasional dari Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), secara konsisten melawan penjajahan Belanda baik secara terang-terangan hingga meninggalkan singgasana untuk bergerilya di hutan dan akhirnya meninggal di puncak Gunung Siontapina, sehingga dikena sebutan sebagai Oputa yi Koo.
Dikompilasi Oleh Pj Sekda Pemprov Sultra yang juga Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sultra, Drs Asrun Lio MHum PhD La Karambau Sultan Himayatuddin adalah satu-satunya Sultan Buton yang konsisten melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Kompeni-Belanda hingga akhir hayatnya selama 24 tahun (1752-1776). Dia bergerilya lama di hutan selama masa perjuangannya dan akhirnya meninggal di puncak Gunung Siontapina, sehingga dikenal dengan sebutan sebagai Oputa yi Koo.
<span;>Sebelum masa pemerintahan Himayatuddin, Kesultanan Buton dianggap sebagai sekutu Belanda karena perjanjian “abadi” yang dibuat oleh para penguasa sebelumnya. Pertama, La Elangi Sultan Dayanu Ikhsanuddin (sultan ke-4: 1613-1633) dengan Kapten Appolonius Scotte atas nama Gubernur Jenderal Kompeni (VOC) pada 5 Januari 1613. Kedua, La Simbata Sultan Adilil Rakhim (sultan ke-10: 1664-1669) dengan Cornelis Speelman pada 25 Juni 1667 (Schoorl 2003: 15-68). Dalam perjanjian pertama, kedua belah pihak beserta sekutu-sekutunya bersama-sama untuk tetap bersahabat dan selalu menjaga persahabatan serta memberi bantuan dan pertolongan untuk melawan musuh dari mana pun. Pada perjanjian kedua, Buton harus memusnahkan seluruh rempah (cengkih dan pala) di wilayah Kesultanan Buton, dengan ganti rugi 100 rijksdaalders setiap tahun kepada Buton. Setiap membuat persahabatan dengan pihak luar dan urusan penggantian Sultan Buton harus disetujui Belanda dan Raja Ternate.
Ketentuan yang terakhir membuat Kesultanan Buton menjadi kedaulatan “semu”. Jadi, apa yang dilakukan Belanda sesungguhnya adalah untuk mengurangi kedaulatan kesultanan serta penindasan dan upaya memiskinkan rakyat Buton (Zuhdi dan Effendy 2015: 58-65).
Sultan Himayatuddin dengan tegas menyatakan tidak mau terikat dan patuh dengan semua perjanjian yang dibuat oleh pendahulunya dengan Belanda, karena tidak menguntungkan pihak Buton. Sikap itu menyulut api permusuhan Kompeni-Belanda terhadap Buton. Dalam menjalankan pemerintahannya, Himayatuddin selalu mencari hal untuk menyatakan permusuhan dengan Belanda (Zahari 1977 II: 116).
Perompakan kapal Belanda, Rust en Werk, di pelabuhan Baubau oleh Frans Fransz dan pengikutnya pada bulan Juli 1752 (Ligtvoet 1878: 74) memicu terjadinya perang Buton versus Kompeni-Belanda. Pasalnya, Himayatuddin tidak berupaya untuk mengatasinya, dan bahkan terkesan membiarkan pelakunya berhasil melarikan diri dan membangun benteng di Pulau Kabaena. Karena itu, sultan dianggap bersalah dan harus membayar kerugian kapal dan isinya kepada VOC berupa 1.000 orang budak.
Tidak lama setelah peristiwa kapal Rust en Werk, para pembesar Buton meminta Himayatuddin turun dari jabatannya. Namun sebelumnya, Himayatuddin mengadakan pertemuan secara rahasia dengan calon penggantinya, Hamim, menyangkut kelanjutan perjuangannya terhadap penguasaan Belanda. Pada bulan September 1752, Hamim Sultan Sakiyuddin diangkat menjadi sultan yang ke-21 (memerintah: 1752-1759) menggantikan Himayatuddin.
Penggantian tersebut hanya tindakan untuk mengelabui mata Kompeni agar mencegah timbulnya pertentangan yang dapat menimbulkan penyerangan Kompeni atas Buton, kemudian apa saja yang menjadi tuntutan Kompeni wajin penuhi, sambil mengatur siasat selanjutnya (Zahari 1977 II: 118). Ketika pasukan Belanda tiba di Buton, mereka tidak menemukan Himayatuddin lagi sebagai sultan, melainkan penggantinya.
Pada awal tahun 1753, dua kapal Belanda, Kaaskooper dan Carolina, dikirim dari Makassar ke Buton dipimpin Onderkoopman Johann Banelius bersama pasukan Kapiten Melayu, Abdul Kadir, serta pasukan Tanette dan Bima untuk menghukum pelaku perompakan kapal Rust en Werk. Pemimpin perompakan, Frans Fransz, berhasil dibunuh oleh Kapiten Melayu, namun Benelius juga tewas di Pulau Kabaena (Zuhdi 1999: 149).
Oleh karena tuntutan ganti rugi belum dibayar oleh Buton, maka Kompeni menyodorkan perjanjian baru kepada Sultan Sakiyuddin mengenai ganti rugi yang harus segara dibayar kepada Belanda dalam waktu yang tidak lama. Ganti rugi pertama berupa 71 orang budak serta sejumlah emas dan perak. Pada bulan Maret 1753, perutusan Buton membawa 22 orang pengikut Frans Franz. Hingga 25 Desember 1754, perutusan Buton membawa 80 orang budak.
Budak-budak yang dikirim oleh Sultan Buton terdiri dari orang tua yang berusia lanjut dan anak-anak di bawah umur yang tidak ada manfaatnya bagi Belanda (Zahari 1977 II: 122).
Itu menambah beban pembiyaaan yang harus dikeluarkan oleh Belanda. Untuk mengurangi biaya hidup mereka dan kemungkinan mati, maka Belanda menjual mereka di pelelangan umum.
Belanda mengancam akan menyerang Buton bila tidak segera melunasi utangnya, dan tidak akan diberitahukan lebih dahulu kepada Buton, malah semua akan dilakukan secara rahasia dan mendadak.
Ancaman Belanda tersebut tak lepas dari laporan yang diberikan oleh Petzold yang menyatakan bahwa pihak Kesultanan Buton telah bersiap untuk perang dengan Belanda (Zahari 1977 II: 123).
Secara diam-diam perahu dan pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Johan Casper Rijsweber tiba di Bantaeng pada 31 Januari 1755 dengan kapal pemburu Adriana dari Makassar. Di antara kesatuan armada itu terdapat kapal Saamslag dan Ouwerkerk yang memuat tentara bantuan dari Jawa, serta tiga kapal kecil (chaloeppen): de Meerma, het Fortun, dan de Arnoldna. Pada 19 Februari, Rijsweber meninggalkan Bulukumba menuju Buton dengan iringan tujuh armada kapal: (1) Huis te Mapad, (2) de Paarl (chaloep), (3) Glisgis (pancallang), (4) Triston (pancallang), (5) Outwerkerk, (6) de Meerim (chalorp), (7) het Fortuin (chalorp), dan (8) de Arnoldina (chalorp). Kapal tiba pada tanggal 23 Februari (Ligtvoet 1887: 77).
Sebelum kapal berlabuh, dilepaskan tembakan penghormatan (saluutschoten), tetapi tidak mendapat balasan dari darat. Dari informasi awak kapal Belanda Gligis, diketahui bahwa orang Buton telah mengetahui kedatangan kapal-kapal tersebut. Dari benteng sampai perbukitan telah dipasang pagar runcing yang terbuat dari pohon kelapa. Lebih kurang 5.000 orang Buton telah mempersiapkan diri. Selang tidak begitu lama, beberapa orang juru bahasa dari Sultan Buton datang di kapal Huis te Henpad untuk menanyakan maksud kedatangan kapal tersebut. Pada waktu kedatangan juru bahasa itu, semua pasukan dan peralatan perang lain disembunyikan dalam kapal.
Setelah mereka pergi, membawa hadiah dari Belanda untuk sultan, Rijsweber naik ke darat dengan berpakaian sebagai matros kapal menuju pusat pertahanan Buton untuk menyelidiki kekuatan pihak Buton (Ligtvoet 1877: 78). Mulai tengah malam hingga dini hari, pasukan Belanda telah berada sekitar benteng keraton. Mereka masuk benteng lewat dua pintu gerbang: lawana Lanto dan lawana Wandailolo (Labunta). Ketika pintu gerbang dibuka pada pukul 06.00, pasukan Belanda segera masuk dalam benteng sambil melepaskan tembakan ke segala penjuru. Kapitalao Sungkuabuso melancarkan serangan balasan dari dalam benteng, disusul pasukan Buton yang lain.
<span;>Kapitalao kemudian gugur dalam pertempuran itu. Di tempat lain, Bontogena (mantri besar) dan Sapati, yang melakukan perlawanan juga gugur (Ligtvoet 1877: 79). Setelah berupaya untuk bertahan, Sultan Hamim kemudian menyelamatkan diri bersama keluarganya, serta dokumen-dokumen penting milik kesultanan, dan alat kelengkapan kebesaran sultan menuju kampung Sorawolio dan seterusnya ke Kaisabu.
Perlawanan terakhir dalam benteng keraton dipimpin oleh Himayatuddin. Namun setelah terdesak, dia juga mengambil keputusan mengundurkan diri bersama dengan keluarganya menyusul sultan ke Kaisabu, dan dari sana terus ke Siontapina melalui Galampa. Seorang putri dan seorang cucu Himayatuddin, yakni Wa Ode Wakato dan Wa Ode Kamali, tidak sempat melarikan diri sehingga menjadi tawanan Rijsweber. Dalam ingatan kolektif masyarakat Buton, mereka dikenal dengan i lingkaakana walanda atau yang dibawa pergi oleh Belanda (Zahari 1977 II: 125-127).
Akibat perang tersebut timbul kerugian pada kedua belah pihak. Di pihak Belanda, satu orang mati, 39 orang hilang, dan 36 orang luka-luka ringan (Ligtvoet 1877: 79). Kapten de Jong mencatat 9 orang mati, sedangkan Zahari (1977 II: 128) mencatat 10 orang mati di antaranya beberapa ditikam oleh Himayatuddin. Kerugian di pihak Buton yang gugur ialah sapati, kapitalao, bontoegena, Lakina Labalawa, Yarona Rakia, dan Lakina Tondanga serta dua orang yang ditawan yakni Wa Ode Wakato dan Wa Ode Kamali.
Dua kapal Belanda, Huis te Menpad dan Ouwerkerk, beberapa hari setelah peristiwa tersebut melanjutkan perjalanan ke Maluku. Sedangkan kapal-kapal yang lain dibawah pimpinan Rijsweber tinggal di Buton sampai 6 Mei 1755 dan tiba kembali di Makassar pada 11 Mei 1755 (Zahari 1977 II: 128). Penyerangan Belanda ke Buton terungkap dalam kalimat berikut: waar van jongste oorlog expeditie naar Bouton artinya “di mana suatu ekspedisi perang yang terbaru dikirim ke Buton”.
Berdasarkan sebuah rekening, yang dibuat di Makassar pada 30 Mei 1755, bahwa jumlah biaya ekspedisi pasukan Belanda ke Buton sebanyak 108:19½ Rijk2 sdalder. Biaya tersebut digunakan untuk empat orang sersan, empat orang kopral, empat orang penabur dan 140 prajurit, termasuk biaya konsumsi dan kebutuhan pendukung lainnya (Zuhdi dan Effendy 2015: 76-77).
Perang Buton versus Belanda dalam ingatan kolektif masyarakat Buton disebut dengan Zamani Kaheruna Walanda atau Zaman huru-hara Belanda.
Peristiwa di atas bagi Belanda adalah satu oorlog (perang), sedangkan Buton memandangnya zaman kekacauan (kaheruna) yang mengandung kesan paling traumatik dalam sejarah Buton. Sesungguhnya, pasca perang itu, Belanda khawatir hubungan antara kedua belah pihak sulit dipulihkan. Pada bulan Maret 1756, Opperkoopman Sinkelaar dan Kapten Rijsweber berangkat ke Buton untuk membuat perjanjian baru dengan Sultan Buton, menyangkut tututan ganti rugi atas peristiwa kapal Rust en Werk dengan 1.000 orang budak.
Kedua pembesar Belanda tiba kembali di Makassar pada 30 April 1756 tanpa suatu hasil yang diharapkan Belanda. Sultan Buton, lewat suratnya pada 9 September 1756, kepada Kompeni di Batavia menyampaikan keberatan atas tuntutan 1.000 orang budak. Pasalnya, Belanda belum lama berselang menyerang Buton yang mengakibatkan kehancuran Buton, terutama beberapa korban pembesar kesultanan akibat perang 1755 (Zahari 1977 II: 131-132; Zuhdi 1999: 156).
Dalam istana Buton sendiri terjadi konflik internal kerajaan hingga wafatnya Sultan Sakiyuddin pada 29 Agustus 1759, kemudian digantikan oleh Sultan Rafiuddin (1759-1760). Sultan yang baru ini kembali menyampaikan keberatan kepada Kompeni di Batavia lewat perutusannya, La Ode Amiri Yarona Tangkeno, mengenai ganti rugi 1.000 orang budak. Lebih kurang tujuh bulan menjabat sultan, Rafiuddin meninggal di Tobe-tobe.
Dewan Kesultanan Buton kemudian memilih dan mengangkat kembali Himayatuddin sebagai sultan Buton ke-23 (masa jabatan kedua: 1760-1763), dengan pertimbangan utama bahwa dia mempunyai kekuatan di dalam masyarakat yang sangat menonjol dan menentukan. Di tengah situasi konflik internal dan ancaman kekuasaan Belanda, kehadiran Himayatuddin sangat penting.
Pengangkatannya disampaikan kepada Belanda di Makassar, dengan surat tanggal 14 Oktober 1760 (Ligtvoet 1877: 82). Dalam surat tersebut, Dewan Kesultanan menyampaikan bahwa Himayatuddin sudah bersedia mematuhi perjanjian dan kiranya persoalan yang lalu dianggap sudah selesai. Ternyata Himayatuddin tetap bersikap seperti semula, yakni tidak bersedia untuk bekerjasama dengan Belanda (Zahari II: 136). Dia telah rela melepaskan singgasananya dalam pertengahan tahun 1763 demi untuk memperjuangkan kebebasan Buton dari kekuasaan Belanda (Zuhdi dan Effendy 2015: 91).
Jabatan (sultan) bukan satu-satunya alasan bagi Himayatuddin untuk melawan Belanda, melainkan kebebasan bangsanya dari belenggu kekuasaan Kompeni. Dengan prinsip itu, dia melanjutkan perjuangannya dengan taktik gerilya. Bersama dengan para pengikutnya, Himayatuddin meninggalkan benteng keraton lewat Lawana Burekene menuju Baadia. Ditemani Lakina Baadia, dia bersama pasukannya menuju benteng Sorawolio untuk mengungsi sementara, kemudian melanjutkan perjalanan ke Wakaokili.
Dalam perjalanan gerilya, Himayatuddin bertemu para petinggi Kesultanan Buton dan menyusun strategi perlawanan. Dia membangun pertahanan di Katapi bersama 40 pengikutnya. Dari Katapi, Himayatuddin pindah ke Wakaisua dan membangun benteng di sana. Menghadapi serangan pasukan Belanda, dia pindah lagi ke kawasan belantara Lakasuba.
Dari sini Himayatuddin merumuskan pola pertahanan baru, dikenal dengan “perang rakyat semesta”, yang dibagi atas tiga unit pasukan reaksi cepat Sambo-samboekea:(1) wilayah Kamaru meliputi Lasalimu, (2) Pasar Wajo, dan (3) Sampolawa (Zuhdi dan Effendy 2015: 93). Demikian Himayatuddin dan pasukannya berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan taktik gerilya.
Pusat pertahanan terakhir Himayatuddin adalah puncak Gunung Siontapina (kampung Wasuamba). Sejak tahun 1755, tidak lama setelah perang Buton versus Belanda, Himayatuddin tinggal menetap di Siontapina sampai akhir hayatnya tahun 1776. Menurut riwayat, pasukan Belanda berupa menyerang Himayatuddin hingga kaki gunung Siontapina, tetapi sulit untuk mencapai puncak gunung tersebut sehingga harus mengundurkan diri dan kembali ke induk pasukan di kapalnya yang berlabuh di sekitar Kampung Kamaru.
Sultan Himayatuddin dimakamkan di puncak Gunung Siontapina. Setiap tahun, penduduk Wasuamba dan sekitarnya, merayakan upacara setelah panen di kuburan dan bekas istana Himayatuddin. Upacara itu adalah bagian wasiat dari sultan, yang diceritakan turun temurun, bahwa “jika kamu semua sudah memungut hasil kebunmu, maka tiap tahun di tempat di mana istanaku berdiri, kamu adakan keramaian linda dan ngibi. Juga di mana kuburan kami, jangan saja di hari raya baru datang, tetapi juga pada tiap tahun selesai panen. Kemudian pada tiap kali kamu mengunjungi tempat kami untuk mengadakan keramaian, maka di atas makam kami, kamu putarkan payung kemuliaan” (Zahari 1977 II: 137). Upaya tersebut sekaligus momen bagi masyarakat Buton mengenang semangat kepahlawanan Sultan Himayatuddin membebaskan negerinya dari kekuasaan Kompeni-Belanda .
Himayatuddin sebagaimana kalangan aristokrasi Keraton Wolio-Buton umumnya memperoleh pendidikan akhlak dan budi pekerti berlandaskan islam. Pendidiknya langsung para orangtua di lingkungan Keraton Buton, yang mengajarkan baca-tulis Alquran, Aksara Buri-Wolio, dan beladiri. Beranjak remaja, fisik Himayatuddin tumbuh lebih cepat dari teman seusianya. “Memiliki postur badan yang tinggi, besar, serta tegap,” terang Susanto dan Muslimin. Orang di sekelilingnya pun menyebutnya sebagai La Karambau atau Kerbau.
Melalui kajian akademik dikemukakan bahwa jenazahnya dimakamkan di Kompleks Keraton Wolio, tidak jauh dari Bukit Lelemangura (tempat makam Sultan Murhum), meskipun forklor (cerita rakyat) menyebutkan kuburan Oputa Yi Koo juga terdapat di puncak Gunung Siontapina (menurut memori atau kesadaran kolektif masyarakat wasuamba dan labuandari).
Memiliki histori kepahlawan yang cukup tinggi dan mengalahkan sejumlah tokoh pahlawan nasional lainnya di nusantara, tidak heran jika Sultan Himayatuddin Muhammad Saydi dinobatkan sebagai pahlawan nasional, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 120/tk/2019 Tanggal 7 November 2019.
“Saya (H Ali Mazi SH,red), selaku salah satu ahli waris, menerima Surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 120/tk/2019 Tanggal 7 November 2019, di Istana Negara, Jakarta,” ucap Asrun Lio mengulangi ucapan Gubernur Sultra saat menerima Kepres di Jakarta.***