Dugaan Pelanggaran Hukum Serius di Konsel: KK Keluarga Diubah Sepihak Tanpa Putusan Pengadilan, Kades Kondono Dilaporkan

KONAWE SELATAN, HARIANSULTRA.COM — Dugaan penyalahgunaan wewenang Kepala Desa (Kades) Kondono, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), kian mengkhawatirkan.

Setelah mencuatnya isu pembuatan surat cerai dan surat hak asuh anak oleh Pemerintah Desa, kini terungkap fakta baru yang lebih mengejutkan: istri dan satu anak dari Anton dikeluarkan dari Kartu Keluarga (KK) tanpa adanya dasar hukum yang sah dari Pengadilan Agama.

Perubahan data kependudukan ini dinilai sebagai pelanggaran administratif dan hukum serius, lantaran dilakukan tanpa melampirkan Akta Cerai resmi, yang merupakan syarat mutlak untuk mengubah status perkawinan dan hak asuh anak di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Konsel.

Informasi yang dihimpunHariansultra.com menyebutkan, perubahan drastis dalam KK tersebut terjadi di tengah Anton sedang menjalani hukuman di penjara.

Lebih parah lagi, Anton dikabarkan diminta menandatangani surat cerai buatan desa. Surat inilah yang kemudian diduga dijadikan landasan untuk mengubah data kependudukan keluarganya secara sepihak.

Padahal, dalam aturan kependudukan, perubahan status cerai dan perubahan KK yang berkaitan dengan perceraian atau hak asuh anak mutlak harus didasarkan pada putusan resmi Pengadilan Agama. Pemerintah desa tidak memiliki kewenangan sedikit pun untuk membuat surat cerai apalagi menjadikannya dokumen resmi untuk perubahan KK.

Tindakan ini telah menghilangkan hak-hak sipil Anton, termasuk identitas keluarga dan akses layanan sosial bagi dirinya dan anaknya.

Menanggapi kasus ini, Praktisi Hukum, Jumadan Latuhani, S.H., atau akrab disapa La Juma, menegaskan bahwa tindakan tersebut dapat berujung pada konsekuensi hukum yang serius.

“Mengeluarkan nama suami dari Kartu Keluarga (KK) secara sepihak tanpa melalui prosedur hukum yang benar (seperti perceraian resmi) dapat menimbulkan konsekuensi hukum bagi Istri, terutama terkait dengan penelantaran rumah tangga,” jelas Jumadan.

Menurutnya, tindakan mengeluarkan suami dari KK tanpa alasan yang sah bisa diartikan sebagai penelantaran ekonomi atau penelantaran rumah tangga.

“Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), penelantaran dapat dipidana dengan penjara paling lama 3 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 15 juta,” tegas La Juma.

Ia menambahkan, status pernikahan Anton dan istrinya tetap sah secara hukum karena perubahan data kependudukan harus didasari oleh peristiwa kependudukan yang sah, seperti perceraian yang dibuktikan dengan Akta Cerai asli dari Pengadilan Agama.

Kasus ini memunculkan sejumlah pertanyaan krusial yang harus dijawab oleh pihak Desa Kondono dan Disdukcapil Konsel, pertama, Siapa yang menyusun dokumen cerai dan hak asuh buatan desa tersebut? kedua, Mengapa dokumen yang jelas bukan kewenangan desa tetap ditandatangani dan dijadikan dasar perubahan KK? ketiga, Apakah Pemerintah Desa memverifikasi legalitas dokumen sebelum menandatangani? dan terakhir, Bagaimana Disdukcapil dapat memproses perubahan KK terkait perceraian tanpa melampirkan Akta Cerai resmi dari Pengadilan Agama?

Sejumlah pihak menilai tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang, pemalsuan data, hingga manipulasi administrasi kependudukan yang merugikan salah satu pihak.

Kasus ini diharapkan segera diusut tuntas untuk mengembalikan hak-hak sipil keluarga Anton dan memastikan tidak ada lagi praktik penyalahgunaan wewenang serupa di Konsel.

Hingga berita ini dipublis, pihak terkait belum memberikan keterangan resmi. (Marwan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *